JIHAD MEMBELA NEGARA DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN


JIHAD MEMBELA NEGARA DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Konsep jihad adalah konsep yang dinamis, ia bisa mengalami perkem-bangan sesuai dengan konteks yang mengirinya. Jihad membela atau memper-tahankan  negara  menurut  hemat penulis diwujudkan dalam menjaga prinsip-prinsip atau nilai-nilai antara lain:  ittihad (persatuan), al-syura>(musyawarah), al-‘adalah (keadilan), al-hurriyyah ma‘a mas’uliyyah (kebebasan disertai tang-gung jawab), kepastian hukum, jaminan haq al-ibad (HAM) dan lain sebagainya.  Inilah yang harus terus-menerus kita perjuangkan dalam rangka jihad memper-tahankan negara.  Berikut ini akan penulis uraikan tentang hal tersebut, yaitu:
1.                  Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Salah satu bentuk jihad mempertahankan negara adalah menjaga per-satuan dan kesatuan  bangsa.   Dalam   konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk, baik dari segi agama, suku, bahasa dan bangsa, maka menjaga persatuan dan kesatuan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi wilayah Indonesia terdiri dari berbagai kepulauan yang “dipisahkan” sekeligus dihubungkan oleh lautan. Kekua-tan ini tidak mungkin diraih tanpa persatuan, dan persatuan tidak dapat dicapai tanpa persaudaran dan kebersamaan serta kemauan untuk saling menghormati satu sama lain.
Dalam Al-Qur’an, perintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 92: “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu”. Ini dikuatkan dengan ayat Al-Qur’an yang melarang kita untuk bercerai-berai, sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hati-mu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran [3]: 103).
Demikian halnya Al-Qur’an juga melarang saling berselisih atau berbantah-bantah, sebab hal itu akan membuat lemah kekuatan kita.
“Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal [8] : 46).
Sebagai muslim dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia, menurut ar-Raghib al-Asfahani, umat itu mengacu pada suatu kelompok masyarakat yang dihimpun oleh sesuatu baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.  Dalam Al-Qur’an ditemukan kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah sebanyak sepuluh kali. Ummah wahidah,  berarti umat yang satu. Tidak pernah ditemukan frasa tawhid al-ummah (penyatuan umat). Ini memberi isyarat bahwa Al-Qur’an lebih menekankan sifat umat yang satu, bukan penyatuan umat. Sebab penyatuan umat terkesan adanya penyeragaman, sehingga kebhinnekaan justru dinafikan. Jadi, multikultural sangat dihargai oleh Al-Qur’an. Sementara frasa ummah wahidah berarti ummat yang satu, meskipun umat manusia itu berbeda-beda, tetapi tetap bisa menjaga persatuan.
2.                  Menanamkan Nilai Nasionalisme Religius
Nasionalisme secara sederhana adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas  bersama  untuk sekelompok  manusia.[1] Nasionalisme religius yang penulis maksud adalah paham kebang-saan yang dilandasi oleh nilai dan semangat keagamaan. Artinya agama menjadi suatu spirit dan nilai untuk menegakkan suatu negara yang adil dan makmur. Dengan kata lain, hubungan agama dan negara bisa bersifat simbiotik mutualisme yang saling menguntungkan. Namun demikian, jangan sampai terjadi politasi agama untuk kepentingan pragmatis bagi para elit negara. Jangan sampai jihad bela negara di sini ditunggangi oleh elit tertentu  untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan samata. Untuk itu, diperlukan kritik dan “oposisi loyal” terhadap pemerintah, agar pemerintah atau negara tidak melakukan politisasi agama demi mengamankan kekuasaan.
3.                  Membudayakan Syura>(Musyawarah)
Secara etimologi, konsep syuraterambil dari kata sy-w-r yang artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang se-hingga mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan, termasuk pendapat. Sehingga musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan suatu pendapat.  Musyawarah (syura) pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.[2] Dengan kata lain, keputusan musyawarah tidak dapat diterapkan untuk mengabsahkan perbuatan yang akan menindas pihak lain dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam bahasa Al-Qur’an, jangan sampai syura itu bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal yang jelas-jelas nasnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
Dalam  menetapkan  keputusan  yang  berkaitan  dengan kehidupan masya-rakat, manusia paling tidak mengenal tiga cara,[3] yaitu: 1) keputusan yang ditetapkan oleh penguasa; 2) keputusan yang ditetapkan oleh pandangan minoritas; 3) keputusan yang ditetapkan berdasarkan  pandangan mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum demokrasi meskipun harus dicatat bahwa demokrasi tidak identik dengan syura.
Prinsip musyawarah dalam Al-Qur’an jelas tidak sesuai dengan model keputusan yang pertama, sebab hal itu justru akan membuat syura>menjadi impotendan lumpuh. Demikian pula pada bentuk kedua, sebab hal itu akan menyisakan pertanyaan tentang apa   keistimewaan   pendapat   minoritas   sehingga mengalahkan yang mayoritas. Memang ada sebagian pakar yang menolak otoritas mayoritas. Pendapat ini didasarkan firman Allah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu” (QS. Al-Maidah [5]: 100). Namun demikian, pandangan tersebut sulit kita terima, sebab ayat itu bukan berbicara dalam konteks musyawarah, melainkan dalam konteks petunjuk Allah yang diberikan kepada para Nabi dan ditolak oleh sebagian anggota masya-rakatnya ketika itu.
Walaupun syura> dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayo-ritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Demikian antara lain pandangan yang dike-mukakan oleh Ahmad Kamal Abu al-Majad dalam kitabnya Hiwar la-Muwajahah, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam, suara mayoritas tidak boleh berseberangan dengan prinsip dasar syariat.
Dalam Al-Qur’an, minimal ada tiga ayat yang berbicara tentang musya-warah (asy-syura). Pertama, musyawarah dalam konteks pengambilan keputu-san yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233. Kedua, musya-warah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw. bersama sahabat atau anggota masyarakat, hal ini didasarkan atas Al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 158.   Ayat tersebut memberikan pertunjuk  kepada  kaum  muslimin,  khususnya ke-pada  setiap pemimpin  agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. Sebab dengan bermusyawarah diharapkan akan memperoleh pandangan yang lebih mem-bawa kebaikan bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nabi saw. “…Ma nadima man istasyara”.[4] (Tidak akan merugi orang yang mau bermusya-warah). Al-Qur’an dalam surat asySyura [42]  ayat 38 juga menyatakan demikian.
Meskipun terdapat beberapa ayat Al-Qur’an atau sunnah tentang musya-warah, hal ini tidak berarti Al-Qur’an telah menggambarkan sistem pemerinta-han secara tegas dan rinci.[5] Nampaknya hal ini memang disengaja oleh Tuhan untuk memberikan kebebasan sekaligus medan bagi kreativitas berpikir manusia untuk berijtihad menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosio-kulturalnya. Sangat mungkin hal ini merupakan salah satu sikap demokrasi Tuhan terhadap hamba-hamba-Nya.
Lalu bagaimana musyawarah itu dilakukan? Nabi saw. biasa melakukan dengan cara beragam. Kadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan. Pada saat yang lain, kadang beliau juga melibatkan tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam masyarakat yang dihadapi.[6] Dengan kata lain, ka-dang Nabi menggunakan sistem musyawarah secara langsung dan tidak lang-sung (baca: perwakilan).
Sistem musyawarah yang dilakukan oleh Nabi antara lain dimaksudkan untuk: 1) memberikan contoh nilai konsultasi (syura) agar ditiru oleh umat Islam lainnya;[7] 2) untuk memperkuat peringatan kepada pemimpin Islam tentang pen-tingnya konsultasi. Dengan tanpa mengabaikan prinsip dari praktik yang dilaku-kan Nabi, kita sesungguhnya dapat mengembangkan syura> secara kon-tekstual, misalnya melalui MPR (Majelis Permusyawaratan), parlemen dan sebagainya. Hal seperti ini yang dilakukan Indonesia dengan MPR atau Inggris dan Malaysia dengan Parlemennya.
Lebih lanjut, perlu ditegaskan ulang di sini bahwa konsep “syura” dalam Islam sesungguhnya tidak identik dengan demokrasi. Sebab  di  dalam  demokrasi  ada nilai dasar,  yaitu  kebebasan (al-hurriyah). Kebebasan itu artinya kebebasan individu untuk mengemukakan pendapat (hurriyah at-ta’bir ‘an ar-ra’y) di hadapan kekuasaan negara tanpa ada tekanan.[8] Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan (balancing power) antara hak-hak individu warga negara dan hak-hak kolektif dari masyarakat.
Dengan demikian, syura>sesungguhnya hanya merupakan salah satu nilai dari demokrasi. Cara untuk memelihara dan memperjuangkan “kebebasan” dan “keadilan” yang notabenemenjadi landasan demokrasi itu adalah melalui syura (musyawarah).[9] Jadi, permusyawaratan (syura) bukan demokrasinya sendiri, melain-kan untuk apa musyawarah itu dilakukan,  yaitu untuk menjamin dan mengem-bangkan kebebasan warga negara dan  untuk menegakkan keadilan.
Lalu apakah syura mesti demokratis? Jawabnya belum tentu. Untuk mengu-kur syura itu demokratis atau tidak adalah dengan melihat apakah syura>itu dapat melaksanakan nilai-nilai keadilan dengan baik atau tidak, dan apakah ada jaminan kebebasan di suatu negeri atau tidak. Contoh kasus adalah di Libia. Di sana ada yang namanya lembaga al-Jamahiriyyah (ke-massa-an rakyat). Namun hal itu, ternyata “tidak” atau belum dapat memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebebasan dengan baik.[10] Dengan demikian, syura di Libia belum dapat dika-takan demokratis. Begitu pula kiranya lembaga syura di Indonesia, yaitu MPR, terutama pada masa rezim orde baru, belum dapat dikatakan demokratis sebab kebebasan untuk berpendapat belum sepenuhnya diberikan bahkan tampak “disumbat” oleh pemerintah yang otoriter dan hegemonik waktu itu. Di era refor-masi, MPR maupun DPR, nampaknya relatif lebih leluasa untuk mengemukakan pendapatnya tanpa dihantui oleh perasaan takut.
4.                  Memperjuangkan Keadilan (al-‘Adalah)
Dalam memenej pemerintahan, keadilan (al-‘adalah menjadi suatu kenis-cayaan, sebab pemerintahan dibentuk antara lain agar tercipta suasana masya-rakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan jika kiranya kemudian Syeikh al-Mawardî dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah memasukkan syarat pertama bagi seorang imam atau pemimpin negara adalah punya sifat al-‘adalah atau adil.[11] Bahkan sebagian ulama, ada yang berpendapat bahwa pemerintahan yang adil di bawah pemimpin yang kafir itu lebih baik dibanding pemimpin muslim tapi zalim. Karena keadilan dalam memimpin merupakan syarat mutlak bagi terciptanya stabilitas sosial yang “sesungguhnya”, bukan stabilitas sosial yang “seolah-olah” karena ada tekanan. Dalam Al-Qur’an, konsep keadilan diungkapkan dengan kata al-‘adl, al-qist, al-mizan. Keadilan, menurut Al-Qur’an, akan mengantarkan kepada ketakwaan dan ketakwaan akan mengantarkan kepada kesejahteraan.
Apakah keadilan itu? Banyak definisi atau konsep tentang keadilan yang telah dikemukakan oleh para pakar. Menurut Plato, dalam  konteks kehidupan  bernegara, keadilan berarti bahwa seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesang-gupannya. Keadilan terletak pada kesesuaian dan keselarasan dalam fungsi di satu pihak dan kecakapan serta kesanggupan di pihak lain.[12]
Dalam Al-Qur’an, kata al-‘adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak, ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai keadilan.[13] Pertama, adil dalam arti sama. Artinya, tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah per-samaan hak. Ini misalnya dilakukan dalam memutuskan hukum, sebagaimana dinyatakan dalam surat  al-Nisa>[4]’: 58.
Kedua, adil dalam arti seimbang. Di sini keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan lawan dari kezaliman. Dalam hal ini, kesesuaian atau keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar sedangkan kecil dan besarnya  ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Hal ini misalnya dapat dirujuk pada surat alInfitar [82]: 6-7 dan surat al-Mulk [67]: 3.
Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan membe-rikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Inilah yang sering dikenal dalam Islam dengan istilah wad‘ al-syai’ fî mah allih”, artinya meletakkan se-suatu pada tempatnya. Keadilan dalam hal ini dapat diartikan sebagai lawan dari kezaliman, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.
Keempat, keadilan yang dinisbatkan kepada Allah. Adil di sini berarti me-melihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada pada hakikatnya tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya.[14] Dalam konteks ini, penulis cenderung berpendapat bahwa akal manusia kadang-kadang tidak atau belum mampu menangkap keadilan Allah. Banyak fenomena yang kadang membuat manusia bertanya di mana keadilan Allah, sementara dia merasa telah berbuat baik, tapi malah terzalimi dan lain sebagainya.
Dari keempat makna keadilan tersebut, sistem pemerintahan dalam Islam yang ideal akan dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan tersebut, yang meliputi persamaan hak di depan hukum, keseimbangan (keproporsiona-lan) dalam mengatur kekayaan alam misalnya, distribusi  pembangunan, adanya balancing  power antara pihak pemerintah dan rakyatnya, memper-hatikan hak-hak individu dan memberikan hak tersebut kepada pemiliknya.
5.                  Menjaga Prinsip Kebebasan (al-Hurriyyah)
Kebebasan atau al-hurriyyah dalam pandangan Al-Qur’an sangat dijun-jung tinggi, termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan agama sekalipun (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Bahkan secara tersurat Allah memberikan kebe-basan (QS. Al-Kahf [18]: 19) apakah seseorang itu mau beriman atau kafir. Sebab, kebebasan merupakan hak setiap manusia yang diberikan Allah swt., tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali di bawah dan setelah
melalui proses hukum.
Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebe-basan yang bertanggung jawab. Kebebasan di sini juga bukan berarti bebas tanpa batas, semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh ke-bebasan orang lain. Contohnya adalah  bahwa  sesorang  tidak  boleh  dengan  dalih  kebebasan, kemudian membunyikan radio sekeras-kerasnya, namun pada saat yang bersamaan mengganggu kebebasan orang lain untuk istirahat dengan nyaman, lantaran bunyi radio tersebut.





[1] Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme di akses tanggal 24  April 2010
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan 1999), h. 469.
[3] Ibid., h. 482
[4] Lihat Imam Jalaluddin as-Suyuti, Jami‘ as-Sagir, h.           211.
[5] Muhammad Husain Haikal, Al-Hukumah al-Islamiyyah, h. 17.
[6] Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar‘iyyah, h. 135; Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h.81.
[7] Lihat Ibn Taimiyyah, Majmu‘ Fatawa>Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyyah, Jilid XXVIII (Riyad: Matabi’ Riyad}, 1963), h. 386.
[8] Abdurrahman   Wahid, “Sosialisasi   Nilai-nilai   Demokrasi   dan Transformasi Sosial”, Masyhur Amin dan Muhammad Najib (ed.) (Yogyakarta: LPSM, 1986), h. 90.
[9] Bandingkan  dengan  Muhammad  Syahrûr,  Dirasah  Islamiyyah Mu‘asirah fî ad-Dawlah wa al-Mujtama(Damaskus: Al-Ahala>li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1994), h. 141-148.
[10] Abdurrahman Wahid, Sosialisasi Nilai-nilai, h. 90.
[11] Abu>al-Hasan ‘Ali>ibn Muhammad ibn Habib al-Basri>al-Mawardi, Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 6.
[12] Deliar Noor, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan, 1996),  h. 8.
[13] Lihat, Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 114-117.
[14] QS. Fussilat (41): 46. 

Comments

Popular posts from this blog

“Bung Karno" Nilai-nilai moral dan keteladanan

KUMPULAN 71 KATA BIJAK/ KATA MUTIARA BUNG KARNO

Contoh Proposal KTD GmnI